KEBIJAKAN PENANGANAN PENGUNGSI BENCANA
24 Okt 2013 10:00 WIB
Dilihat 407 kali
Foto : KEBIJAKAN PENANGANAN PENGUNGSI BENCANA ()
Jakarta, 23 Oktober 2013
Kejadian bencana memberikan dampak serius bagi manusia. Untuk menyelamatkan hidupnya manusia harus mengungsi ke tempat yang lebih aman dari lokasi bencana dengan meninggalkan segala harta bendanya. Di tempat-tempat pengungsian pun mereka hidup dengan serba darurat, trauma, was-was, dan rentan dirundung penyakit. Lalu apa itu yang dimaksud dengan pengungsi dan bagaimana kebijakan mengenai pengungsi bencana?.
Direktur Penanganan Pengungsi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ir. Taufik Kartiko, M.Si., mengatakan, “Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Kebijakan penanganan pengungsi pun diuraikan secara lengkap dalam Undang-Undang itu.”
Menurut Taufik Kartiko, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Di Indonesia lembaga pemerintah yang secara khusus melakukan upaya penanggulangan bencana adalah BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Fungsi BNPB dan BPBD adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak secara cepat dan tepat serta efektif dan efisien. Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Sebagai implementasi kebijakan terkait dengan penanganan pengungsi maka diturunkan ke dalam Peraturan Kepala BNPB (Perka BNPB), seperti:
1. Perka BNPB 6/2008 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai.
2. Perka BNPB 7/2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.
3. Perka BNPB 8/2008 tentang Pedoman Pemberian Dan Besaran Bantuan Santunan Duka Cita.
4. Perka BNPB 9/2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat BNPB.
5. Perka BNPB 14/2010 Tentang Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana.
6. Perka BNPB 17/2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan RR Pasca Bencana.
7. Perka BNPB 6.A/2011 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat Bencana.
8. Perka BNPB 8/2011 tentang Standardisasi Data Kebencanaan.
Apa pun kejadian bencana yang terjadi, seperti banjir, banjir bandang, gunung meletus, longsor, tsunami, puting beliung, kecelakaan industri, gempa, dan lain-lain berdampak kepada manusia yang menjadi pengungsi. Dalam kebijakan dan struktur kelembagaan di Indonesia ada pemisahan yang jelas antara tanggap darurat dan pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi). Dalam hal ini Direktorat Penanganan Pengungsi berada di bawah Kedeputian Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB. Kondisi saat ini proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana secara resmi masuk setelah proses tanggap darurat selesai. Juga untuk penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana dilakukan setelah tanggap darurat selesai yang mana untuk pengumpulan data dan penyusunannya membutuhkan waktu dan koordinasi lintas sektor. Dalam hal ini ada jeda atau waktu kosong sebelum rencana aksi ditetapkan terkait dengan dana, operasionalisasi rehabilitasi dan rekonstruksi, penanganan pengungsi, dan lain-lain. Padahal penanganan pengungsi tidak dapat ditunda untuk menunggu dana pemerintah cair misalnya.
Dengan demikian terdapat beberapa tantangan dalam hal penanganan pengungsi bencana ini. Kapan penanganan pengungsi mulai dilakukan oleh Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi? Apakah sejak masa siaga darurat atau setelah ditetapkan sebagai bencana (tanggap darurat) atau bahkan setelah tanggap darurat selesai? Dalam kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan banjir Way Ela tahun 2013 penangan pengungsi dilakukan sejak ditetapkan siaga darurat.
Dalam hal eskalasi bencana yang semakin meningkat dialami kesulitan dalam menangani pengungsi. Contohnya adalah ketika erupsi Gunung Merapi tahun 2010 radius berbahaya dari 10 km dan 15 km dari puncak Merapi diperluas jadi 20 km dari puncak dan melingkar di seluruh punggung gunung yang menyebabkan lonjakan jumlah pengungsi secara signifikan.
Status bencana yang “naik-turun dan kontinyu” menyebabkan kesulitan tersendiri dalam penanganan pengungsi. Contoh aktual adalah bencana meletusnya Gunung Rokatenda.
Dalam hal pengambilan dan pengelolaan data diperlukan instrumen pendataan pengungsi berprespektif pemulihan sejak awal tanggap darurat. Hal ini sangat diperlukan instrumen verifikasi data pengungsi yang valid dan akurat (by name by adress).
“Ke depan perlu ada integrasi kebijakan antara tanggap darurat dengan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Juga perlu ada integrasi intrumen pengambilan dan pengelolaan data oleh tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Juga perlu ada koordinasi antar sektor dalam penanganan pengungsi sejak tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana untuk pemenuhan kebutuhan dasar, livelihood, kesehatan (fisik dan mental), pendidikan, dan lain sebagainya, “ujar Taufik Kartiko.
Kejadian bencana memberikan dampak serius bagi manusia. Untuk menyelamatkan hidupnya manusia harus mengungsi ke tempat yang lebih aman dari lokasi bencana dengan meninggalkan segala harta bendanya. Di tempat-tempat pengungsian pun mereka hidup dengan serba darurat, trauma, was-was, dan rentan dirundung penyakit. Lalu apa itu yang dimaksud dengan pengungsi dan bagaimana kebijakan mengenai pengungsi bencana?.
Direktur Penanganan Pengungsi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ir. Taufik Kartiko, M.Si., mengatakan, “Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Kebijakan penanganan pengungsi pun diuraikan secara lengkap dalam Undang-Undang itu.”
Menurut Taufik Kartiko, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Di Indonesia lembaga pemerintah yang secara khusus melakukan upaya penanggulangan bencana adalah BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Fungsi BNPB dan BPBD adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak secara cepat dan tepat serta efektif dan efisien. Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Sebagai implementasi kebijakan terkait dengan penanganan pengungsi maka diturunkan ke dalam Peraturan Kepala BNPB (Perka BNPB), seperti:
1. Perka BNPB 6/2008 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai.
2. Perka BNPB 7/2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.
3. Perka BNPB 8/2008 tentang Pedoman Pemberian Dan Besaran Bantuan Santunan Duka Cita.
4. Perka BNPB 9/2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat BNPB.
5. Perka BNPB 14/2010 Tentang Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana.
6. Perka BNPB 17/2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan RR Pasca Bencana.
7. Perka BNPB 6.A/2011 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat Bencana.
8. Perka BNPB 8/2011 tentang Standardisasi Data Kebencanaan.
Apa pun kejadian bencana yang terjadi, seperti banjir, banjir bandang, gunung meletus, longsor, tsunami, puting beliung, kecelakaan industri, gempa, dan lain-lain berdampak kepada manusia yang menjadi pengungsi. Dalam kebijakan dan struktur kelembagaan di Indonesia ada pemisahan yang jelas antara tanggap darurat dan pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi). Dalam hal ini Direktorat Penanganan Pengungsi berada di bawah Kedeputian Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB. Kondisi saat ini proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana secara resmi masuk setelah proses tanggap darurat selesai. Juga untuk penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana dilakukan setelah tanggap darurat selesai yang mana untuk pengumpulan data dan penyusunannya membutuhkan waktu dan koordinasi lintas sektor. Dalam hal ini ada jeda atau waktu kosong sebelum rencana aksi ditetapkan terkait dengan dana, operasionalisasi rehabilitasi dan rekonstruksi, penanganan pengungsi, dan lain-lain. Padahal penanganan pengungsi tidak dapat ditunda untuk menunggu dana pemerintah cair misalnya.
Dengan demikian terdapat beberapa tantangan dalam hal penanganan pengungsi bencana ini. Kapan penanganan pengungsi mulai dilakukan oleh Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi? Apakah sejak masa siaga darurat atau setelah ditetapkan sebagai bencana (tanggap darurat) atau bahkan setelah tanggap darurat selesai? Dalam kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan banjir Way Ela tahun 2013 penangan pengungsi dilakukan sejak ditetapkan siaga darurat.
Dalam hal eskalasi bencana yang semakin meningkat dialami kesulitan dalam menangani pengungsi. Contohnya adalah ketika erupsi Gunung Merapi tahun 2010 radius berbahaya dari 10 km dan 15 km dari puncak Merapi diperluas jadi 20 km dari puncak dan melingkar di seluruh punggung gunung yang menyebabkan lonjakan jumlah pengungsi secara signifikan.
Status bencana yang “naik-turun dan kontinyu” menyebabkan kesulitan tersendiri dalam penanganan pengungsi. Contoh aktual adalah bencana meletusnya Gunung Rokatenda.
Dalam hal pengambilan dan pengelolaan data diperlukan instrumen pendataan pengungsi berprespektif pemulihan sejak awal tanggap darurat. Hal ini sangat diperlukan instrumen verifikasi data pengungsi yang valid dan akurat (by name by adress).
“Ke depan perlu ada integrasi kebijakan antara tanggap darurat dengan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Juga perlu ada integrasi intrumen pengambilan dan pengelolaan data oleh tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Juga perlu ada koordinasi antar sektor dalam penanganan pengungsi sejak tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana untuk pemenuhan kebutuhan dasar, livelihood, kesehatan (fisik dan mental), pendidikan, dan lain sebagainya, “ujar Taufik Kartiko.
Penulis