Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Tujuh Rekomendasi Agenda Bali untuk Resiliensi Berkelanjutan

Dilihat 197 kali
Tujuh Rekomendasi Agenda Bali untuk Resiliensi Berkelanjutan

Foto : Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto pada Closing Ceremony Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7 di Bali Nusa Dua Convention Center, Jumat (27/5). (Komunikasi Kebencanaan BNPB/Danung Arifin)



BADUNG – Pada acara penutupan, Indonesia berkesempatan untuk menyampaikan tujuh rekomendasi Agenda Bali untuk Resiliensi Berkelanjutan pada Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7. Rekomendasi tersebut disampaikan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto di Bali Nusa Dua Convention Centre pada Jumat (27/5). 

Pertama, pengurangan risiko bencana perlu diintegrasikan pada kebijakan-kebijakan utama pembangunan dan pembiayaan, legislasi, dan rencana pencapaian Agenda 2030. Suharyanto mengatakan, Platform Global menyerukan transformasi mekanisme tata kelola risiko untuk memastikan pengelolaan risiko merupakan tanggung jawab bersama lintas sektor, sistem, skala, dan batas. 

“Sejumlah contoh menunjukkan bahwa bekerja secara horizontal dan vertikal dapat membantu pemerintah untuk memecahkan masalah kesenjangan kelembagaan dan ego sektoral, ujarnya.

Kedua, hanya dengan perubahan sistemik masyarakat dunia dapat memperhitungkan kerugian yang sesungguhnya dari bencana dan kerugian dari ketiadaan aksi, serta membandingkannya dengan investasi dalam pengurangan risiko bencana. 

“Contoh baik dari komitmen politik yang ditunjukkan dalam bentuk target anggaran yang disahkan dan mekanisme pelacakan untuk pengurangan risiko bencana bermunculan, yang harus dipromosikan dan direplikasi,” pesan Suharyanto yang sekaligus sebagai Ketua I Panitia Nasional GPDRR.

Lebih lanjut, ia menyampaikan, strategi pembiayaan pengurangan risiko bencana dapat mengarahkan dan memprioritaskan investasi dan harus dimasukkan dalam kerangka pembiayaan nasional yang terintegrasi.

Ketiga, Platform Global diselenggarakan diantara COP 26 dan COP 27 mencermati tingkat emisi saat ini jauh melebihi upaya mitigasinya, yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian bencana, dan mengancam pencapaian Agenda 2030. 

“Platform Global meminta para pemerintah untuk menghormati komitmen yang dibuat di Glasgow untuk secara drastis meningkatkan pembiayaan dan dukungan untuk adaptasi dan resiliensi,” tegasnya.

Suharyanto juga mengatakan, terdapat kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pengurangan risiko bencana sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi keadaan darurat iklim, seraya meningkatkan dan mencapai ambisi iklim. 

Tujuan Global tentang Adaptasi, dan Santiago Network sebagai bagian dari mekanisme internasional untuk kerugian dan kerusakan. Hal tersebut menawarkan peluang yang tepat untuk menjadikan mekanisme dan instrumen pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan dari aksi iklim.

Keempat, bencana memberikan dampak berbeda kepada setiap orang. Ini menyerukan pendekatan partisipatif dan berbasis HAM untuk memasukkan semua sesuai prinsip "Tidak ada apa-apa tentang kita tanpa kita" dalam perencanaan pengurangan risiko bencana dan implementasinya pada masyarakat yang berisiko. 

Investasi pada generasi muda dan profesional muda harus ditingkatkan untuk merangsang inovasi dan solusi kreatif. 

“Harus ada komitmen ulang terhadap keterlibatan masyarakat, dan pengurangan risiko bencana yang digerakkan oleh masyarakat, serta mendukung struktur lokal yang ada dan membangun resiliensi,” ujarnya.

Kelima, Platform Global memberikan rekomendasi yang dapat mendukung pelaksanaan seruan Sekretaris Jenderal PBB untuk memastikan setiap orang di muka bumi dilindungi oleh sistem peringatan dini dalam jangka waktu lima tahun ke depan. 

Respons terhadap seruan tersebut harus mempertimbangkan rantai nilai peringatan dini yang berpusat pada masyarakat secara menyeluruh dari ujung ke ujung – mulai dari penilaian risiko hingga infrastruktur dan menjangkau tujuan akhir. 

“Pengembangan sistem peringatan dini multi bahaya harus melibatkan masyarakat yang paling berisiko dengan kapasitas kelembagaan, keuangan dan sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan aksi berdasarkan peringatan dini,” ujar Suharyanto.

Ketersediaan dan kualitas data yang lebih baik, sumber daya keuangan, tata kelola yang efektif dan mekanisme koordinasi yang lebih baik antara para pemangku kepentingan akan memperkuat sistem peringatan dini multi bahaya, khususnya di negara-negara tertinggal (LDC), negara berkembang pulau kecil (SIDS) dan Afrika.

Keenam yaitu potensi pembelajaran transformatif dari pandemi Covid-19 harus diterapkan sebelum jendela peluang tersebut tertutup. 

“Pendekatan saat ini untuk pemulihan dan rekonstruksi tidak cukup efektif dalam melindungi hasil pembangunan maupun dalam membangun kembali dengan lebih baik, lebih hijau dan lebih adil,” jelasnya.

Suharyanto mengatakan, ada kebutuhan untuk mendorong sistem manajemen risiko bencana yang adaptif dan responsif dengan kolaborasi multipemangku kepentingan disertai dengan empati, solidaritas, kerja sama, dan semangat kesukarelaan khususnya untuk mengatasi ketidakadilan.

Terakhir, pelaporan yang komprehensif dan sistematis, termasuk tinjauan kemajuan yang mendalam terhadap semua target Kerangka Sendai oleh Negara-negara Anggota akan membantu menarik rekomendasi yang jelas untuk midterm review Kerangka Sendai. 

“Platform Global menyerukan kepada semua negara anggota, organisasi regional, dan pemangku kepentingan untuk terlibat dalam midterm review Kerangka Sendai ini untuk memahami dengan jelas tantangan dan hambatan implementasi dan mempercepat upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan pada tahun 2030,” tutupnya.


Abdul Muhari, Ph.D. 

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB 

Penulis


BAGIKAN